PENYELESAIAN SENGKETA
EKONOMI
Pengertian Sengketa
Pengertian sengketa dalam
kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti
adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau
organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu
Winardi mengemukakan :
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau
kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang
lain.
Cara-cara Penyelesaian
Sengketa
Suatu konflik atau
sengketa tidak akan selesai sampai konflik atau sengketa tersebut
terselesaikan. Sebenarnya penyelesaian sengketa secara damailah yang
diinginkan. Dimana bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kekerasan atau
peperangan dalam suatu persengketaan antar individu,kelompok,organisasi,lebaga
bahkan antar negara sekalipun. Namun dengan cara perdamaian haruslah dengan
hati yang lapang menerima segala kesepakatan yang disetujui. Dan dengan cara
damai haruslah adil dimana yang berhak mendapatkan dialah yang berhak
mendapatkan, dan yang tidak berhak mendapatkan haruslah menerima kalau hal yang
dipermasalahkan bukan mmenjadi haknya. Penyelesaian sifatnya adalah segera.
Karena jika tidak segera ditanggapi dengan tanggap maka permasalahan atau
sengketa akan semakin memuncak. Dimana masalah bisa menjadi semakin besar
dan mengakibatkan adanya kekerasan diantara kedua belah pihak tersebut.
Menurut pasal 33 ayat 1 (Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan). Jelas sekali dalam undang-undang
sudah tercantum pasal mengenai perekonomian harus disusun sebagai usaha bersama
yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Yang jelas kita lihat adalah koperasi
dimana koperasi menggunakan asas kekeluargaan. Dan banyak pula kita jumpai
perusahaan besar yang dalam operasi usahanya menggunakan jenis koperasi. Dimana
segala sesuatunya dijalankan bersama dan dengan asas kekeuargaan. Tak heran
jika perusahaan tersebut sukses besar. Karenan dengan asas kekeluargaan semua
dibicarakan dengan adanya saling menghormati dan menghargai pendapat, hak dan
kewajiban masing-msing anggotanya. Nah kita kembali ke topik bahasan,
penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui berbagai macam cara. Cara-cara
tersebut diantaranya sebagai berikut:
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan
pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu
persengketaan, tidak melibatkan pihak ketiga, dan diantara keduanya tidak ada
lagi berselisih paham setelah mendapatkan keputusan penyelesaian sengketanya,
serta keduanya saling menerima kesepakatan yang diambil tanpa ada paksaan dari
pihak manapun, dimana keduanya tidak ada yang merasa dirugikan.
2.
Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak
ketiga yang tidak memihak keduanya dimaksud untuk mencari fakta.
Hal ini bisa kita sebut misalnya
melalui kepolisian, dimana akan dikupas tuntas, diselidiki hingga ketemu akar
masalahnya. Dan fakta yang benar itulah yang benar dan harus diterima oleh
kedua belah pihak.
Selain itu, contoh yang
bisa kita ambil adalah dalam sengketa perebutan anak. Dimana siapa yang menjadi
orang tua kandungnya. Hal ini bisa meminta pihak ketiga(pihak rumah sakit)
untuk melakukan tes DNA. Dimana hasil yang keluar dari pihak rumah sakit
menjadi bukti dari sengketa tersebut yang kemudian untuk dijadikan
penyelesaiannya..
3.
Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat
menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan
secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
Bisa kita ambil contoh
kedua pihak yang bersengketa sudah tidak bisa mengatasi masalahnya atau
sudah bosan menghadapinya, oleh karena itu mereka menggunakan jasa
seperti pengacara. Dalam hal ini pihak yang bersengketa memberikan kuasa kepada
jasa yang dipercaya untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sering kita sebut
pengacara. Dimana pengacara mencari bukti kebenaran yang memihak kepada yang
memberi perintah namun tetap mematuhi peraturan undang-undang yang berlaku.
Selain itu juga bisa kita ambil contoh, klien atau yang bersengketa misalkan
saja mengurus atau menyelesaikan kasusnya ke dinas pemerintahan yang mengurus
masalah hak milik tanah dan bangunan. Disini pemerintah akan berusaha untuk
mencari kebenaran yang ada tanpa menyembunyikan fakta sekecil apapun. Hasil
yang dicapai tentu harus diterima kedua pihak yang bersengketa.
Penyelesaian perkara perdata melalui
sistem peradilan:
1.
Memberi kesempatan yang tidak adil (unfair), karena lebih memberi kesempatan
kepada lembaga-lembaga besar atau orang kaya. Yang dimaksudkan disini, karena
dengan kekayaan orang tersebut dapat menyuap jaksa atau bahkan dapat
memanipulasi data.
2.
Sebaliknya secara tidak wajar menghalangi rakyat biasa (ordinary citizens)
untuk perkara di pengadilan. Disini orang besar atau orang kaya dengan
kekuasaan mereka serta kepandaiannya mereka mengerti akan prosedur yang harus
dilalui, jauh dengan kalangan rakya biasa yang tidak mengerti atau kekurang
pahaman mereka akan setiap prosedur, dengan kekurang pahaman kalangan biasa hal
ini bisa sangat mudah mereka dibohongi oleh kalangan besar dengan manipulasi
data atau fakta yang sesungguhnya terjadi.
Tujuan
memperkarakan suatu sengketa:
1. Untuk
menyelesaikan masalah yang konkret dan memuaskan,
kenapa
suatu konflik diperkarakan, karena keduanya sama-sama menginginkan ap yang
diperebutkan itu menjadi miliknya. Oleh karenanya mereka memperkarakan suatu
sengketa dan mencari pemecahannya yang menurut mereka itu adil.
2. Pemecahannya harus cepat
(quickly), wajar (fairly) dan murah (inexpensive)
Yang dimaksud adalah karena kedua
belah pihak sudah lama menunggu suatu konflik yang telah berkepanjangan ini
segera usai. Oleh karena itu kedua belah pihak memperkarakan dengan
melaporkan kepada polisi atau pengacara atau dengan penyelidikan bermaksud
untuk lebih cepat mendapatkan hasil yang diperkarakan..
Selain dari pada itu
berperkara melalui pengadilan:
Memperkarakan sengketa
melalui pengadilan justru akan membuat semakin lama karena begitu banya
prosedur yang harus diikuti. Selain itu juga dalam pengadilan prosesnya lebih
dan sangat forma. Disamping biaya yang sangat tinggi karena harus membayar
administrasi dan pengacara yang super mahal, memperkarakan melalui pengadilan
justru secara umum tidak dianggap dan kurang memberi kesempatan yang wajar bagi
yang rakyat biasa. Berikut lebih ringkasnya dari penjelasan barusan :
1. Lama
dan sangat formalistik (waste of time and formalistic),
2. Biaya
tinggi (very expensive),
3.
Secara umum tidak tanggap (generally unresponsive),
4.
Kurang memberi kesempatan yang wajar (unfair advantage) bagi yang rakyat biasa.
SISTEM ALTERNATIF YANG DIKEMBANGKAN
a).Sistem
Mediation
b). Sistem Minitrial
c).Sistem Concilition
d).Sistem Adjudication
e). Sistem Arbitrase
a). Sistem Mediation
Mediasi adalah salah satu alternatif yang dikembangkan. Selain sistem Mediation
sistem yang dikembangkan diantaranya adalah Sistem Minitrial, Sistem
Concilition, Sistem Adjudication, Sistem Arbitrase.
Mediasi merupakan salah
satu alternatif penyelesaian sengketa sebagai terobosan atas cara-cara
penyelesaian tradisional melalui litigation (berperkara di pengadilan). Mediasi
berarti menengahi atau penyelesaian sengketa melalui penengah (mediator).
Dengan demikian sistem mediasi, mencari penyelesaian sengketa melalui mediator
(penengah). Mediatornya disini kita sebut saja misalnya pengadilan. Dimana
dengan sistem ini kedua pihak yang bersengketa datang bersama
secara pribadi saling berhadapan antara satu dengan yang lain. Kedua pihak
berhadapan langsung dengan mediator dimana mediator merupakan pihak ke tiga
dimana mediator disini tidak memihak pihak manapun bisa dikatakan pihak ke tiga
atau mediator haruslah netral.
Dari uraian diatas dapat
kita simpulkan bahwa Peran dan fungsi mediator adalah membantu para pihak
mencari jalan keluar atas penyelesaian yang mereka sengketakan. Penyelesaian
yang hendak diwujudkan dalam mediasi adalah compromise atau kompromi di antara
kedua pihak. Dalam mencari kompromi, mediator memperingatkan, jangan sampai
salah satu pihak cenderung untuk mencari kemenangan. Karena apabila hal
tersebut terjadi keduanya hanya akan terjebak, pada yang dikemukakan Joe
Macroni Kalau salah satu pihak ingin mencari kemenangan, akan mendorong
masing-masing pihak menempuh jalan sendiri (I have may way and you have your
way). Akibatnya akan terjadi jalan buntu (there is no the way). Ya, untuk apa
kita menggunakan mediator kalau kedua pihak tidak mengikuti prosedur yang ada.
Jika diibaratkan, untuk apa kita menggunakan jasa perahu kalau kedua pihak
bermaksud mendapatkan keuntungan lebih dengan berenang sehingga lebih cepat
untuk mendapatkan ikan. Cara dan sikap yang seperti itu, bertentangan dengan
asas mediasi. Mediasi bertujuan untuk mencapai kompromi yang maksimal.
sedangkan kompromi sendiri, kedua pihak sama-sama menang atau win-win, oleh
karena itu tidak ada pihak yang kalah atau losing dan tidak ada yang menang
mutlak.
Manfaat yang paling menonjol, antara
lain:
1.
Penyelesaian cepat terwujud (quick).
2.
Biaya Murah (inexpensive)
3.
Bersifat Rahasia (confidential)
4.
Bersifat Fair dengan Metode Kompromi
5.
Hubungan kedua belah pihak kooperatif.
6.
Hasil yang dicapai WIN-WIN
7.
Tidak Emosional.
b). Sistem Minitrial
Sistem yang lain hampir
sama dengan mediasi ialah minitrial. Sistem ini muncul di Amerika pada tahun
1977. Jadi kalau terjadi sengketa antara dua pihak, terutama di bidang bisnis,
masing-masing pihak mengajak dan sepakat untuk saling mendengar dan menerima
persoalan yang diajukan pihak lain:
1.
setelah itu baru mereka mengadakan perundingan (negotiation),
2.
sekiranya dari masalah yang diajukan masing-masing ada hal-hal yang dapat
diselesaikan, mereka tuangkan dalam satu resolusi (resolution).
c). Sistem Concilition
Konsolidasi (conciliation),
dapat diartikan sebagai pendamai atau lembaga pendamai. Bentuk ini sebenarnya
mirip dengan apa yang diatur dalam Pasal 131 HIR. Oleh karena itu, pada
hakikatnya sistem peradilan Indonesia dapat disebut mirip dengan mix
arbitration, yang berarti:
1. pada
tahap pertama proses pemeriksaan perkara, majelis hakim bertindak sebagai conciliator atau
majelis pendamai.
2.
setelah gagal mendamaikan, baru terbuka kewenangan majelis hakim untuk memeriksa dan mengadili perkara
dengan jalan menjatuhkan putusan.
Akan tetapi, dalam kenyataan praktek,
terutama pada saat sekarang; upaya mendamaikan yang digariskan pasal 131 HIR,
hanya dianggap dan diterapkan sebagai formalitas saja. Jarang ditemukan pada
saat sekarang penyelesaian sengketa melalui perdamaian di muka hakim.
Lain halnya di negara-negara kawasan
Amerika, Eropa, maupun di kawasan Pasific seperti Korea Selatan, Jepang,
Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Sistem konsiliasi sangat menonjol sebagai
alternatif. Mereka cenderung mencari penyelesaian melelui konsiliasi daripada
mengajukan ke pengadilan.
Di negara-negara yang dikemukakan di
atas, lembaga konsiliasi merupakan rangkaian mata rantai dari sistem
penyelesaian sengketa dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
pertama; penyelesaian diajukan dulu pada mediasi
2.
kedua; bila mediasi gagal, bisa dicoba mencari penyelesaian melalui minirial
3.
ketiga; apabila upaya ini gagal, disepakati untuk mencari penyelesaian melalui
konsolidasi,
4.
keempat; bila konsiliasi tidak berhasil, baru diajukan ke arbitrase.
Memang, setiap kegagalan
pada satu sistem, penyelesaian sengketa dapat langsung diajukan perkaranya ke
pengadilan (ordinary court). Misalnya, mediasi gagal. Para pihak langsung
mencari penyelesaian melalui proses berperkara di pengadilan. Akan tetapi pada
saat sekarang jarang hal itu ditempuh. Mereka lebih suka mencari penyelesaian melalui sistem
alternatif, daripada langsung mengajukan ke pengadilan. Jadi di negara-negara
yang disebut di atas, benar-benar menempatkan kedudukan dan keberadaan
pengadilan sebagai the last resort, bukan lagi sebagai the first resort.
Biasanya
lembaga konsiliasi merupakan salah satu bagian kegiatan lembaga arbitrase,
arbitrase institusional, bertindak juga sebagai conciliation yang bertindak
sebagai conciliator adalah panel yang terdaftar pada Arbitrase Institusional
yang bersangkutan. Sengketa yang diselesaikan oleh lembaga konsiliasi pada
umumnya meliputi sengketa bisnis. Hasil penyelesaian yang diambil berbentuk resolution,
bukan putusan atau award (verdict). Oleh karena itu, hasil penyelesaian yang
berbentuk resolusi tidak dapat diminta eksekusi ke pengadilan. Dengan demikian,
walaupun resolusi memeng itu bersifat binding (mengikat) kepada para pihak,
apabila salah satu pihak tidak menaati dengan sukarela tidak dapat diminta
eksekusi ke pengadilan. Dalam hal yang seperti itu penyelesaian selanjutnya
harus mengajukan gugatan ke pengadilan.
d).
Sistem Adjudication
Sistem Adjudication
merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa bisnis yang baru
berkembang di beberapa negara. Sistem ini sudah mulai populer di Amerika dan
Hongkong.
Secara
harafiah, pengertian "ajuddication" adalah putusan. Dan memang
demikian halnya. Para pihak yang bersengketa sepakat meminta kepada seseorang
untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara mereka, orang yang
diminta bertindak dalam adjudication disebut adjudicator, dan dia berperan dan
berfungsi seolah-olah sebagai HAIM (act as judge), oleh karena itu, dia diberi
hak mengambil putusan (give decision).
Pada prinsipnya, sengketa
yang diselesaikan melalui sistem adjudication adalah sengketa yang sangat
khusus dan kompleks (complicated). Tidak sembarangan orang dapat
menyelesaiakan, karena untuk itu diperlukan keahlian yang khusus oleh seorang
spesialis profesional. Sengketa konstruksi misalnya. Tidak semua orang dapat
menyelesaikan. Diperlukan seorang insinyur profesional. Di Hongkong misalnya.
Sengketa mengenai pembangunan lapangan terbang ditempuh melalui lembaga adjudication
oleh seorang adjudicator yang benar-benar ahli mengenai kontruksi lapangan
terbang.
Proses
penyelesaian sengketa meleui sistem ini, sangat sederhana. Apabila timbul
sengketa para pihak membuat kesepakatan penyelesaian melaui adjudication berdasar
persetujuan ini, mereka menunjuk seorang adjudicator yang benar-benar
profesional, dalam kesepakatan itu, kedua belah pihak diberi kewenangan
(authority) kepada adjudicator untuk mengabil keputusan (decision) yang
mengikat kepada kedua belah pihak (binding to each party), sebelum mengambil
keputusan, adjudicator dapat meminta informasi dari kedua belah pihak, baik
secara terpisah maupun secara bersama-sama.
e).
Sistem Arbitrase
Mengenai arbitrase, sudah
lama dikenal. Semula dikenal oleh Inggris dan Amerika pada tahun 1779 melaui
Jay Treaty. Berdasar data ini, perkembangan arbitrase sebagai salah satu sistem
alternatif tempat penyelesaian sengketa, sudah berjalan selam adua
abad.Sekarang semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang arbitrase.
Di Indonesia ketentuan
arbitrase diatur dalam Buku Ketiga RV. Dengan demikian, umurnya sudah terlampau
tua, karena RV dikodifikasi pada tahun 1884. Oleh karena itu, aturan yang
terdapat didalamnya sudah ketinggalan, jika dibandingkan dengan perkembangan
kebutuhan.
Memang banyak persamaan
prinsip antara arbitrase dengan sistem alternatif yang lain tadi, seperti
sederhana dan cepat (informal dan quick), prinsip konfidensial, diselesaikan
oleh pihak ketiga netral yang memiliki pengetahuan khusus secara profesional.
Namun, demikian, di balik
persamaan itu terdapat perbedaan dianggap fundamental, sehingga dunia bisnis
lebih cenderung memiliki mediation, minitrial atau adjusdication. Perbedaan
yang dianggap fundamental, antara lain dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
1.
Masalah biaya, dianggap sangat mahal (expensive). Biaya yang harus dikeluarkan
penyelesaian arbitrase, hampir sama adengan biaya litigasi di pengadilan.
Terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, sehingga terkadang
jauh lebih besar biaya dengan apa yang harus dikeluarkan bila perkara diajukan
ke pengadilan. Komponen biaya atrbitrase terdiri dari:
a. Biaya
administrasi
b. Honor
arbitrator
c. Biaya
transportasi dan akomodasi arbitrator
d. Biaya
saksi dan ahli.
Komponen biaya yang seperti itu, tidak
ada dalam mediasi atau minitrial. Jika pun ada biaya yang harus dikeluarkan,
jauh lebih kecil. Apalagi mediasi, boleh dikatakan tanpa biaya atau nominal
cost.
2.
Masalah sederhana dan cepat. Memang benar salah satu prinsip pokok penyelesaian
sengketa melalui arbitrase adalah informal procedure and can be put in motion
quickly. Jadi prinsipnya informal dan cepatI. Tetapi kenyataan yang terjadi
adalah lain. Tanpa mengurangi banyaknya sengketa yang diselesaikan arbitrase
dalam jangka waktu 60-90 hari, Namun banyak pula penyelesaian yang memakan
waktu panjang. Bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun. Apalagi
timbul perbedaan pendapat mengenai penunjukkan arbitrase, Rule yang disepakati
atau hukum yang hendak diterapkan (governing law), membuat proses penyelesaian
bertambah rumit dan panjang.
Kelebihan tersebut antara lain:
1.
Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak
2. dapat
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif;
3. para
pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan,
pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan,
jujur dan adil;
4. para
pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
5.
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui
tata cara (prosedur) yang sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Secara
garis besar dapat dikatakan bahwa penyelesaian sengketa dapat digolongkan dalam
3 (tiga) golongan, yaitu:
1.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan negosiasi, baik yang bersifat langsung
(negtation simplister) maupun dengan penyertaan pihak ketiga (mediasi dan konsiliasi),
2.
Penyelesaian sengketa dengan cara litigasi, baik yang bersifat nasional maupun
internasional.
3.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan arbitrase, baik yang bersifat ad-hoc
yang terlembaga.
Arbitrase secara umum dapat dilakukan
dalam penyelesaian sengketa publik maupun perdata, namun dalam perkembangannya
arbitrase lebih banyak dipilih untuk menyelesaikan sengketa kontraktual
(perdata). Sengketa perdata dapat digolongkan menjadi:
1.
Quality arbitration, yang menyangkut permasalahan faktual (question of fact)
yang dengan sendirinya memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis yang
tinggi.
2.
Technical arbitration, yang tidak menyangkut permasalahan faktual, sebagaimana
halnya dengan masalah yang timbul dalam dokumen (construction of document) atau
aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak.
3.
Mixed arbitration, sengketa mengenai permasalahan faktual dan hukum (question
of fact and law).
Sumber
: